AMBON, BABETO.ID – Dalam politik pemerintahan, seratus hari pertama adalah interval simbolik. Bukan soal angka, tetapi indikator arah.
Di Maluku, sebuah provinsi yang kerap dikerdilkan dalam perbincangan pembangunan nasional.
100 hari kerja Gubernur HL dan Wakil Gubernur AV menawarkan napas segar yang belum tentu glamor, tapi jelas terasa. Kita tahu, Maluku bukan provinsi dengan lumbung fiskal seperti tetangga utaranya.
Maluku Utara menari dengan royalti tambang, sementara Maluku menapak di atas tanah kepulauan dengan kendala konektivitas, infrastruktur, dan minimnya penerimaan asli daerah.
Kerja-kerja ini bukan sekadar administratif, tapi bentuk keberanian epistemik: melawan logika Jakarta-sentris yang menganggap daerah sebagai satelit, bukan subjek.
Maka Membandingkan Maluku dan Maluku Utara secara apple to apple sama kelirunya dengan menimbang berat kayu dan air.
Namun, justru dalam keterbatasan itulah, integritas dan kecakapan diuji.
Mediasi Sosial : Politik Moral yang Bekerja
Gubernur HL dan AV memulai kerja dengan menyentuh yang paling purba : konflik antar-warga.
Dalam 100 hari, konflik di wilayah-wilayah rawan seperti Sawai-Masihulan, Tulehu-Tial, dan Negeri Kabau-Kailolo didekati bukan dengan retorika keamanan, tapi dengan kerja-kerja mediasi yang konkret dan senyap. Ini penting.
Di saat pemerintah pusat sibuk menara gading, Pemerintah Provinsi Maluku turun ke lapangan, membuka ruang dialog, bukan menambah jumlah pasukan.
Di sini, kita melihat politik moral bekerja: merawat kohesi sosial lebih penting dari sekadar seremonial pembangunan.
Menyelamatkan Bank Maluku-Malut : Strategi Bertahan dalam Jurang Fiskal
Tak banyak yang tahu bahwa Bank Maluku Malut nyaris terdegradasi menjadi BPR akibat tidak memenuhi syarat modal inti sesuai POJK No. 12 Tahun 2020.
Pemerintah Provinsi Maluku tidak membuat sensasi, tetapi menjalankan diplomasi fiskal dan korporasi, masuk ke dalam skema Kelompok Usaha Bank (KUB) dengan Bank DKI.
Modal inti didongkrak ke Rp3 Triliun. Langkah ini bukan hanya menyelamatkan bank daerah. Ini menyelamatkan wajah Maluku di peta keuangan nasional.
Atau ini bukan sekadar penyelamatan institusi, ini adalah keberpihakan terhadap kedaulatan ekonomi daerah.
Bayangkan, jika Bank Daerah rontok, maka provinsi ini akan kehilangan infrastruktur keuangan strategis untuk mendukung koperasi, UMKM, dan pembiayaan pembangunan lokal.
Seperti dikatakan Faisal Basri, “Jangan beri kami lumbung uang, beri kami alat produksi.” Dan Bank Daerah adalah alat produksi itu, menghidupkan koperasi, UMKM, dan pembiayaan infrastruktur di daerah.
Tanpa bank daerah, Maluku akan terus hidup dari kebaikan hati pusat. Dan itu bukan kedaulatan, tapi ketergantungan.
Menancapkan Proyek Strategis Nasional : Bermain di Papan Catur Besar
Masuknya tiga Proyek Strategis Nasional (PSN) bukan sekadar prestasi lobbying.
Ini adalah pertarungan epistemologis dengan kekuasaan pusat. Selama ini, peta PSN lebih akrab dengan Jawa dan Sumatera.
Ketika Maluku berhasil menyisipkan Pelabuhan Terintegrasi, Bendungan Wayapo, dan Blok Abadi Masela, ini menunjukkan bahwa elit daerah tidak lagi pasif menunggu; mereka mulai memukul meja.
Namun, proyek ini belum rampung. Ia masih dalam fase “niat baik negara.”
Blok Masela, yang selama ini menjadi kisah penantian tanpa ujung, kini kembali dibunyikan.
Memang belum tuntas, tetapi kita lihat tanda-tanda bergerak. Ini seperti menghidupkan mesin tua : perlu waktu, tetapi memutar kunci kontak adalah langkah krusial.
Blok Masela harus terus diawasi agar tidak menjadi proyek yang hanya menguntungkan korporasi global dan elit Jakarta.
Pemerintah daerah harus memastikan bahwa pembangunan ini menciptakan nilai tambah di Maluku, bukan hanya menjadi jalur aliran gas keluar daerah.
Pendapatan Daerah dan Pajak : Stimulus dari Pintu Belakang
Penghapusan tunggakan pajak kendaraan bermotor hingga 2024 adalah langkah cerdas dan kontekstual.
Dalam filsafat ekonomi publik, kebijakan fiskal harus bersifat countercyclical, merespons kondisi ekonomi masyarakat yang sedang lesu dengan stimulus, bukan tekanan.
Dengan kebijakan ini, HL dan AV tidak hanya menambah PAD jangka menengah, tetapi membangun kembali relasi fiskal yang sehat antara negara dan warga.
Ini adalah bukti bahwa bahkan di provinsi termiskin pun, ekonomi bisa dikelola dengan nalar, bukan hanya dengan alasan ‘tidak ada uang’.
Sambil menunggu tambang atau investasi besar masuk, HL dan AV bekerja melalui pintu belakang: memaksimalkan yang ada, bukan menangisi yang tak tersedia.
Koperasi Merah Putih dan Sekolah Rakyat: Membangun dari Akar
Rencana pendirian Koperasi Merah Putih, sekolah rakyat, dan program makan bergizi gratis di seluruh desa dan kelurahan bukan hanya kebijakan populis.
Ini adalah pernyataan politik bahwa pembangunan bukan hanya soal jalan tol atau bandara, tetapi kapasitas rakyat.
Ekonomi kerakyatan bukan jargon, ia harus menjadi infrastruktur sosial.
Dalam konteks Maluku, koperasi bisa menjadi motor penggerak ekonomi lokal yang adil, dan sekolah rakyat adalah perlawanan diam terhadap ketimpangan akses pendidikan.
Reformasi Birokrasi dan Transformasi IAIN: Dua Sumbu Kedaulatan
Lelang jabatan dan rotasi ASN bukan sekadar “pembersihan”. Ini adalah upaya membangun meritokrasi dalam birokrasi yang selama ini korosif.
HL dan AV menyadari, sebagaimana diingatkan Max Weber, bahwa negara tidak bisa dibangun dengan birokrat lemah dan birokrasi dinasti.
Maka lelang jabatan eselon II dan persiapan rotasi eselon III dan IV menandai langkah reformasi birokrasi yang serius.
Tidak ada pembangunan tanpa birokrasi yang lincah. Ini pekerjaan rumah semua kepala daerah, tetapi HL dan AV memilih memulainya sejak dini.
Sementara itu, transformasi IAIN Ambon menjadi UIN A.M. Sangaji adalah simbol perlawanan terhadap marginalisasi intelektual kawasan timur.
Ini bukan sekadar akademik. Ini adalah proyek peradaban. Universitas harus menjadi lokomotif pengetahuan, bukan sekadar pencetak ijazah. Dan UIN A.M. Sangaji punya beban sejarah untuk itu.
Maka transformasi IAIN Ambon menjadi Universitas Islam Negeri A.M. Sangaji bukan hanya perubahan nomenklatur.
Ini adalah pengakuan atas sejarah, nilai, dan eksistensi umat Islam di Maluku dalam lanskap nasional.
Di tengah arus radikalisme dan banalitas religiositas, menjadikan UIN sebagai ruang akademik terbuka adalah strategi peradaban.
Kesimpulan : Politik Akar, Bukan Politik Gincu
Seratus hari pertama HL dan AV tidak menyuguhkan pesta gemerlap. Tapi justru di situlah letak kekuatannya. Mereka tidak menjual mimpi.
Mereka menambal lubang. Mereka tidak melempar slogan. Mereka menyelamatkan institusi. Mereka tidak bermain panggung.
Mereka menyusun fondasi. Dalam situasi krisis fiskal, mereka tidak menyalahkan, tapi bekerja.
Sebab, “Kepemimpinan sejati tidak lahir dari kekuasaan, tetapi dari pengabdian terhadap kebenaran dan akal sehat.”
Kita tahu : jalan masih panjang, dan banyak yang belum selesai. Tapi arah sudah diletakkan.
Sekarang tugas kita sebagai warga bukan sekadar mengapresiasi, tapi terus mengawasi, agar politik kerja ini tidak digantikan oleh politik kosmetik.
Tentu saja, semua belum tuntas. Pelabuhan belum dibangun, Blok Masela masih menunggu final investment decision, dan koperasi rakyat masih di atas kertas.
Tetapi dalam 100 hari ini, HL dan AV menunjukkan bahwa mereka paham satu hal penting :
bahwa untuk memajukan Maluku, kita tak butuh ilusi kemewahan, tetapi kehendak kerja dan kompas arah.
Mereka belum selesai. Tapi mereka sudah memulai. Dan itu patut kita apresiasi, dengan mata waspada dan kritik yang jernih. Semoga!.***