AMBON, BABETO.ID – Di tanah Maluku yang pernah berdarah-darah melawan kolonialisme, ada ironi pahit yang terus diabaikan :
Universitas Islam Negeri (UIN) Ambon memilih nama tokoh pergerakan asal Maluku yang justru berjuang di tanah orang, sementara Imam Rijali ulama, cendekiawan, dan pejuang yang mengabdikan hidupnya untuk Maluku dibiarkan mati dalam lupa.
Keputusan ini bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan pengkhianatan terhadap akar sejarah yang seharusnya menjadi fondasi kampus.
Imam Rijali : Pejuang yang Menyuburkan Maluku dari Dalam
Imam Rijali adalah sosok multidimensi. Di era kolonial Belanda, ketika Maluku dirampok sumber dayanya dan dijajah martabatnya, ia tidak memilih mengangkat senjata di medan perang nasional.
Sebaliknya, ia memilih bertahan di tanah kelahiran, membangun benteng perlawanan melalui pendidikan, dakwah, dan penguatan budaya.
Ia mendirikan madrasah yang tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga menanamkan kesadaran kritis terhadap penjajahan.
Perjuangannya bersifat organik :
ia mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal, merawat tradisi sebagai alat pemersatu, dan melawan kebodohan yang sengaja dipelihara kolonial.
Bagi Rijali, jihad terbesar bukanlah pergi ke medan tempur di luar Maluku, tetapi memberdayakan rakyatnya sendiri dari dalam.
UIN Ambon : Mengapa Memilih Nama “Pahlawan Pengembara”?
Kritik utama bukan pada tokoh pergerakan yang diabadikan, tetapi pada logika di balik pilihan itu. Tokoh tersebut mungkin berasal dari Maluku, tetapi perjuangannya terjadi jauh dari tanah ini.
Ia menjadi bagian dari narasi nasional, sementara Imam Rijali yang darah, keringat, dan pemikirannya menyatu dengan Maluku justru diabaikan.
Ini mencerminkan mentalitas inferior seolah-olah legitimasi sebuah kampus hanya bisa diraih dengan mengadopsi nama yang diakui secara nasional, sekalipun tokoh itu minim kaitan dengan konteks lokal.
Padahal, UIN Ambon seharusnya menjadi mercusuar yang memancarkan cahaya keilmuan dan identitas Maluku.
Dengan memilih nama “pahlawan pengembara”, kampus ini justru mengirim pesan keliru : bahwa kontribusi untuk Maluku tidak cukup layak dihargai.
Auto-Kritik: Nasionalisme Semu yang Menghisap Roh Lokalitas
Kecenderungan mengagungkan tokoh yang berjuang di luar Maluku adalah bentuk nasionalisme semu.
Kita terjebak dalam ilusi bahwa pahlawan “nasional” lebih bermartabat daripada pahlawan lokal. Padahal, Indonesia dibangun dari ribuan kisah heroik lokal yang justru menjadi tulang punggung kebinekaan.
Dampaknya? Generasi muda Maluku tumbuh tanpa figur teladan yang akrab dengan konteks mereka.
Mereka diajari menghormati pahlawan dari Jawa, Sumatera, atau bahkan Eropa, tetapi tidak tahu bahwa tanahnya pernah melahirkan Imam Rijali seorang ulama yang membuktikan bahwa ilmu dan iman bisa menjadi senjata melawan penindasan.
Mengapa Nama Imam Rijali Lebih Relevan?
1. Kesesuaian Visi Keilmuan : Sebagai cendekiawan, Rijali mewakili integrasi keilmuan agama, budaya, dan sosial nilai yang seharusnya menjadi DNA UIN Ambon.
2. Pemulihan Identitas : Namanya akan mengembalikan kebanggaan lokal dan mengingatkan bahwa Maluku bukan sekadar “daerah konflik”, tetapi tanah pemikir dan pejuang.
3. Koreksi Sejarah : Ini momentum untuk mengakui bahwa perjuangan di dalam negeri (local resistance) sama mulianya dengan perjuangan di medan nasional.
Jika alasan penolakan adalah “birokrasi” atau “popularitas”, itu hanya dalih. Universitas-universitas terkemuka di dunia seperti Universitas Al-Azhar (Mesir) atau Universitas Harvard (AS) justru bangga menggunakan nama yang mencerminkan akar filosofis mereka, bukan sekadar mengikuti tren.
Saatnya UIN Ambon Menjadi Kampiun bagi Maluku
UIN Ambon berdiri di tanah yang diinjak-injak kolonial, di wilayah yang kini masih berjuang melawan ketimpangan ekonomi dan ancaman disintegrasi sosial.
Dengan mengganti namanya menjadi Universitas Islam Negeri Imam Rijali, kampus ini tidak hanya menghormati sejarah, tetapi juga mengambil peran aktif dalam membentuk masa depan Maluku yang berdaulat secara intelektual.
Imam Rijali tidak perlu diasingkan dua kali : pertama oleh kolonialisme, kedua oleh generasi yang lupa.
Saatnya UIN Ambon memilih jalan yang lebih berani: menjadi kampus yang tidak hanya “Islami”, tetapi juga benar-benar Maluku.***
Oleh : Husen Bafaddal – Alumni HMI Maluku