oleh

80 Tahun RI: Saatnya Bercermin, Siapa yang Sebenarnya Merdeka?

-Opini-39 Dilihat

MALUKU, BABETO.ID – Di sebuah desa di Kecamatan Elpaputi, Seram Bagian Barat, seorang lelaki tua terbaring lemah. Napasnya pendek, tubuhnya panas, dan keluarganya panik. Tidak ada puskesmas, tidak ada mobil ambulans, tidak ada dokter. Satu-satunya jalan keluar hanyalah ditandu. Empat orang bergantian mengangkat tubuh renta itu di atas usungan kayu, menembus hutan dan menapaki jalan setapak. Mereka berjalan hingga 30 kilometer, demi harapan agar ia bisa bertemu tenaga medis.

Begitulah kenyataan di salah satu sudut negeri yang katanya sudah 80 tahun merdeka.

Di sisi lain, di sebuah kampung di Kecamatan Kilmury, Seram Bagian Timur, anak-anak kecil bersiap berangkat sekolah. Langit mendung, hujan semalam membuat sungai meluap. Namun mereka tetap melangkah. Sampai di tepi sungai, mereka melepas sepatu, mengangkat tas di atas kepala, lalu berenang menyeberang. Bukan sekali dua kali mereka hampir terseret arus. Tapi demi sebuah papan tulis dan pendidikan di seberang sana, nyawa pun dipertaruhkan.

Apakah ini wajah dari kemerdekaan yang kita rayakan dengan gegap gempita setiap 17 Agustus?

Di Jakarta, suasana begitu berbeda. Bendera merah-putih berkibar gagah di alun-alun. Pasukan pengibar bendera melangkah pasti. Pejabat berdiri rapi di podium kehormatan, memberi pidato dengan suara lantang. 

Tapi bagi rakyat kecil di pelosok, merdeka tidak identik dengan seremoni atau pidato. Merdeka berarti tidak perlu berenang melawan sungai hanya untuk bersekolah. Merdeka berarti tidak ada lagi orang tua yang ditandu puluhan kilometer demi mendapat obat. Merdeka berarti ada jalan yang bisa dilalui, listrik yang menyala, harga pangan yang terjangkau, dan tenaga medis yang hadir saat dibutuhkan.

Merdeka bukan hanya simbol, melainkan hadirnya negara dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya.

Delapan puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Jika kemerdekaan masih harus diartikan sebatas upacara, jargon politik, dan slogan manis “Indonesia Emas 2045,” lalu kapan janji yang tertulis di Pembukaan UUD 1945 benar-benar diwujudkan? Kapan “melindungi segenap bangsa” dan “mewujudkan keadilan sosial” menjadi kenyataan yang bisa disentuh rakyat di pedalaman, bukan sekadar teks yang dibacakan setiap upacara?

Hari ini, kita tidak kekurangan bendera untuk dikibarkan, tidak kekurangan pidato untuk disampaikan, dan tidak kekurangan pesta kembang api untuk dirayakan. Yang kita kekurangan adalah kehadiran negara di tempat-tempat yang jauh dari sorot kamera.

Delapan puluh tahun merdeka seharusnya menjadi saat bercermin: siapa sebenarnya yang telah merdeka? Apakah hanya mereka yang tinggal di pusat kota, yang bisa menikmati jalan tol, rumah sakit megah, dan akses pendidikan layak? Atau juga mereka yang tinggal di dusun terpencil, di pulau-pulau terluar, di pedalaman hutan, di kampung nelayan yang terpinggirkan?

Merdeka sejati bukan hanya soal bebas dari penjajah asing. Merdeka sejati adalah bebas dari ketidakadilan, keterbelakangan, dan ketimpangan. Merdeka sejati adalah saat setiap anak bangsa, di manapun dia lahir dan tinggal, bisa merasakan perlindungan dan pelayanan negara.

Maka, pertanyaan yang layak beta ajukan pada usia 80 tahun republik ini sederhana namun mendasar: Apakah kemerdekaan itu sudah benar-benar milik semua rakyat atau hanya menjadi milik segelintir yang beruntung?

Penulis: Rian Abdullah Markalim (Mahasiswa Universitas Terbuka Kota Ambon)

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *