Oleh: Mario Kakisina
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Pattimura)
BABETO.ID – Dalam upaya pemberantasan korupsi, diperlukan kerja sama semua pihak maupun semua elemen masyarakat, tidak hanya institusi terkait saja. Beberapa institusi yang diberi kewenangan untuk memberantas korupsi, antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian dan Kejaksaan.
Masifnya pemberantasan korupsi yang dilakukan melalui jalur penindakan oleh KPK, Kejaksaan dan Kepolisian seakan tidak memberikan efek jera bagi para pejabat Negara untuk tidak melakukan tindakan korupsi.
Apa yang dilakukan oleh KPK, Kejaksaan dan Kepolisian sebagai institusi yang diamanahi memberantas tindak pidana korupsi seakan tidak mampu memberikan harapan kepada kita bahwa suatu hari nanti kita akan melihat Indonesia tanpa korupsi.
Kondisi ini tentu sangat menyakitkan kita sebagai masyarakat biasa mengingat besarnya dampak yang dapat ditimbulkan oleh perilaku koruptif.
Pemberantasan korupsi melalui upaya-upaya represif nampaknya perlu untuk disinergikan dengan upaya-upaya preventif. Apa bila hari ini kita masif kan penindakan pelaku tindak pidana korupsi sebagai upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh institusi penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan kejaksaan.
Maka kedepannya kita membutuhkan pemberantasan tindak pidana korupsi melalui cara-cara yang lebih preventif atau pencegahan yang lebih terstruktur, sistematis dan masif dilakukan oleh semua sektor lembaga Negara. Terstruktur maksudnya adalah upaya preventif atau pencegahan yang dilakukan oleh lembaga Negara tersebut dilakukan dengan cara dan metode yang serupa pada semua sektor dan tingkatan baik instansi vertikal maupun instansi yang berada di daerah.
Upaya pencegahan yang Sistematis maksudnya upaya preventif yang dilakukan harus terencana baik institusi pelaksananya maupun tahapan pencegahannya. Sedangkan masif maksudnya pencegahan korupsi harus dilakukan secara bersama-sama semua instansi atau lembaga Negara.
Terminologi pencegahan korupsi sebetulnya sudah mengemuka sejak lama. Pencegahan korupsi pun sudah diupayakan Negara sejak Era orde baru, bahkan sebelumnya. Apa yang disebut sebagai pendekatan kebudayaan atau strategi kebudayaan dalam kaitannya dengan korupsi sebetulnya tidak lain adalah nama lain dari strategi pencegahan korupsi.
Pendapat yang dikemukakan oleh Malik Ruslan tadi menegaskan kepada kita bahwa upaya preventif atau pencegahan tindak pidana korupsi bukan merupakan sesuatu yang asing untuk dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Oleh karena itu, memaksimalkan upaya preventif sebagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi bukan merupakan hal yang mustahil untuk dilakukan di Negara Indonesia. Peran serta masyarakat dalam pencegahan tindak pidana korupsi juga sangat dibutuhkan dan memiliki peran yang sangat penting sebagai bentuk dari kontrol sosial, tingginya kontrol sosial akan mampu mempersempit ruang gerak bagi korupsi dan memperlebar ruang bagi anti korupsi.
Kita semua telah maklumi bahwa korupsi atau perilaku koruptif merupakan tindak pidana yang disebabkan oleh berbagai macam faktor. Kita sudah sangat familiar apabila membaca literatur yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi mengenai penyebab terjadinya tindak pidana korupsi atau perilaku koruptif.
Salah satu yang sangat popular menjadi penyebab tindak pidana korupsi adalah masalah moralitas dari para penyelenggara Negara. Masalah moralitas tentunya berkaitan dengan diri pribadi masyarakat ataupun pribadi penyelenggara Negara. Oleh karena itu, upaya preventif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi seharusnya dengan membenahi aspek moralitas masyarakat Indonesia, penyelenggara Negara atau pejabat Negara.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pencegahan korupsi atau upaya preventif tersebut harus dilakukan oleh lembaga Negara secara terstruktur, sistematis dan masif. Demikian pula halnya membenahi aspek moralitas pejabat Negara dan masyarakat Indonesia sebaiknya dilakukan dengan cara terstruktur, sistematis dan masif oleh lembaga Negara yang paling dekat dengan kerja-kerja yang berkaitan dengan moralitas keagamaan.
Institusi atau lembaga Negara yang paling mampu melakukan pencegahan korupsi dari aspek moralitas keagamaan menurut hemat penulis adalah Kementrian Agama. Kuatnya pemahaman dan pengamalan ajaran agama, akan mencegah seseorang dari perbuatan yang tidak baik dan selalu taat dan patuh menjalankan perintah agama, sekalipun ia dalam kondisi miskin dan berkekurangan atau menderita, Apalagi hanya sebatas korupsi akan bisa dijauhkan dari diri dan lingkungannya.
Maka hal yang paling mendasar bagaimana strategi menerapkan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan lapisan masyarakat, baik individu maupun kolektif, rakyat maupun pejabat.
Moralitas keagamaan merupakan perwujudan dari nilai-nilai keagamaan yang telah tertanam dalam diri seseorang. Penanaman nilai-nilai keagamaan melalui program-program yang dicanangkan oleh Kementerian Agama diharapkan sampai pada level dimana nilai-nilai keagamaan dapat setara dengan nilai-nilai intrinsik yang dimiliki setiap orang, karena nilai intrinsik inilah yang kemudian melatarbelakangi berbagai tindakan yang dilakukan seseorang termasuk diantaranya persepsi mengenai tindakan koruptif yang dari sudut pandang setiap agama merupakan perbuatan yang tidak diperbolehkan.
Sehingga dalam hal ini peran Kementerian Agama tidak hanya terbatas pada pengelolaan urusan keagamaan secara institusional namun dapat pula menjangkau perbaikan kualitas kepribadian seseorang.
Menempatkan Kementrian Agama dalam pencegahan korupsi atau upaya preventif seharusnya bukan merupakan sesuatu yang sulit mengingat visi kementerian agama adalah “Terwujudnya Masyarakat Indonesia yang Taat Beragama, rukun, Cerdas, dan Sejahtera Lahir Batin dalam rangka Mewujudkan Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong royong”.
Visi tersebut kemudian ditegaskan dalam misi yang ketujuh yaitu “Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan terpercaya”. Tata kelola pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan terpercaya merupakan nilai-nilai anti korupsi yang seharusnya tidak hanya diwujudkan dalam lingkungan Kementrian Agama itu sendiri tetapi harus mampu diwujudkan diluar Kementerian Agama melalui perbaikan aspek moralitas keagamaan sebagai upaya preventif atau pencegahan tindak pidana korupsi. ***
Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari Redaksi Babeto.id
Komentar