AMBON, BABETO.ID – Di negeri yang katanya menjunjung tinggi keadilan, ketimpangan justru begitu telanjang di depan mata. Di balik tembok tinggi kantor megah itu, ada bos besar duduk nyaman di ruang berpendingin.
Perutnya membuncit, dompetnya menggelembung. Sementara itu, para karyawan sebagai tulang punggung perusahaan tubuhnya kian mengurus. Upah mereka dipotong, tunjangan digantung, beban kerja dilipatgandakan.
Alasannya selalu sama. “Perusahaan sedang sulit.” “Kita harus efisiensi.” “Ekonomi sedang tidak stabil.” Tapi mari jujur: apakah benar perusahaan yang sulit? Atau sebenarnya yang sulit hanyalah membatasi kerakusan para pemilik modal?
Tak terhitung sudah berapa cara yang dipakai bos untuk menahan hak-hak pekerja. Lembur tak dibayar. THR dipangkas. Tunjangan hilang tanpa jejak. Semua dibungkus manis dengan narasi “demi kelangsungan perusahaan”.
Ironis, karena yang dipertaruhkan justru kelangsungan hidup karyawan. Mereka yang telah bertahun-tahun mengabdi tak lagi dipandang lebih dari sekadar angka dalam laporan keuangan.
Lebih menyakitkan lagi, ketidakadilan ini berlangsung di tengah budaya bungkam yang begitu kokoh. Tak ada yang berani bersuara. Tak ada yang mengadu, bahkan ketika hak mereka diinjak. Karena sistem sudah begitu lihai membungkam: dengan sogokan kecil, janji semu, atau ancaman halus.
Di sinilah nama Marsina seharusnya jadi cermin kita. Marsina adalah simbol keberanian. Buruh perempuan yang pada 1993 diculik, disiksa, lalu dibunuh karena membela hak teman-temannya. Marsina bersuara saat banyak memilih diam. Marsina melawan saat banyak memilih tunduk.
Hari ini, nama Marsina mungkin sering kita dengar di seminar buruh, di orasi Hari Buruh, di spanduk peringatan. Tapi setelah itu? Ketidakadilan terus terjadi. Bos tetap menggemukkan dompetnya. Karyawan tetap mengurus, tetap ditindas.
Pertanyaannya: apakah kita telah mengkhianati Marsina? Apakah kita telah membiarkan perjuangannya mati begitu saja, terkubur bersama tubuhnya?
Sudah saatnya kita berhenti pura-pura. Jangan lagi bangga dengan label “perusahaan ramah buruh” kalau itu hanya kosmetik. Jangan lagi bertepuk tangan atas sertifikat CSR sementara di belakang panggung, hak pekerja diinjak. Jangan lagi kita diam ketika rekan kita diperlakukan tak adil.
Malulah kepada Marsina. Malulah kepada sejarah. Karena setiap ketidakadilan yang kita biarkan hari ini, adalah pengkhianatan terhadap mereka yang dulu berani melawan. Dan suatu hari, anak cucu kita mungkin akan bertanya: mengapa kalian hanya menonton ketidakadilan itu terjadi?
Penulis: Rian Abdullah Markalim
Mahasiswa Universitas Terbuka Kota Ambon
Komentar