SURABAYA, BABETO.ID – Perjalanan saya sebagai aktivis dimulai ketika aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Saat itu, saya diberi amanah sebagai Ketua Komisariat IMM Jenderal Sudirman.
Saya masih ingat dengan jelas, momen ketika pertama kali mengenal sosok Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) IMM Jawa Timur, yang akrab dipanggil Najih.
Dialah orang yang mengajak saya mengikuti aksi demonstrasi di depan Gedung Gubernur Jawa Timur.
Hanya dalam waktu semalam, kami menyiapkan aksi tersebut.
Dengan penuh semangat, saya mengenakan topeng Presiden Joko Widodo dan membawa tumpukan uang mainan yang disimbolkan sebagai pemberian dari para konglomerat.
Aksi teatrikal itu kami lakukan hanya bersembilan—semua aktivis IMM. Namun, meski kecil, aksi itu berhasil menarik perhatian banyak media. Saya, dengan topeng Jokowi, muncul di berbagai media televisi dan platform digital.
Najih tampil sebagai sosok yang tegas dan berani menyuarakan ketidakadilan, terutama terhadap kebijakan pemerintah yang kala itu tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Itulah awal dari perjalanan panjang kami bersama. Lima tahun kemudian, pada 2018, saya dipercaya menjadi Sekertaris Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IMM.
Di momen yang sama, Najih Prasetyo terpilih sebagai Ketua Umum DPP IMM dalam Muktamar Muhammadiyah di Malang.
Sebagai pengurus DPP, kami mencetuskan program edukatif tentang manajemen lingkungan dengan mengajak sekitar 40 kader IMM dari berbagai daerah untuk belajar langsung ke Suku Baduy.
Di sana, kami belajar bagaimana masyarakat adat menjaga kelestarian alam. Salah satunya, cara mereka menanam padi hanya sekali dalam setahun, tanpa menjual hasil panennya.
Mereka mengonsumsi hasil bumi sendiri sebagai bentuk penghormatan terhadap alam.
Dorongan kuat dari Najih menginspirasi kami untuk membuat program lingkungan lanjutan, seperti pelatihan bagi warga pesisir Surabaya—yang saat itu menjadi sorotan karena kotornya laut—dan pemberdayaan masyarakat di bantaran Pintu Air Jagir Wonokromo.
Kami menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat Jagir memanfaatkan air sungai yang kecoklatan untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk minum.
Ironisnya, hanya beberapa meter dari rumah mereka berdiri tembok PDAM Surabaya setinggi tiga meter, namun air bersih tak pernah mereka nikmati.
Sebuah kenyataan pahit : hidup berdampingan dengan sumber air, tapi tak mendapat akses atasnya.
Selama menjabat sebagai Ketua umum DPP IMM, Najih selalu mendukung penuh berbagai isu yang kami perjuangkan.
Kini, ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah (PPPM) dan Komisaris Independen InJourney Aviation Services.
Perjalanan hidupnya begitu inspiratif. Dari seorang mahasiswa yang menjadi tukang sol sepatu sepulang salat Jumat, ia kini menjadi tokoh nasional yang kiprahnya berdampak luas bagi masyarakat.
Tuhan telah mengangkat derajatnya, karena ketekunan, keberanian, dan kesungguhannya dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan.***
Oleh : Azrohal Hasan (Sekertaris DPP IMM Periode 2018-2022
Komentar