SBB, BABETO.ID – Komoditi Minyak Kayu Putih di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) merupakan salah satu kearifan lokal sumberdaya alam yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sudah sejak dahulu kalah sebagai salah satu sumber pendapatan keluarga.
Namun keberdadaan kekayaan alam yang menjanjikan tersebut selama pemekaran kabupaten ini sejak tahun 2003 sampai saat ini dinilai tidak memberikan dampak terhadap pembangunan di Kabupaten SBB.
Diakibatkan karena komoditi tersebut hampir tidak memberikan kontribusi berupa pajak atau yang kita kenal dengan nama dana bagi hasil (DBH) yang di transfer oleh pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten seram bagian barat sebagai daerah penghasil.
Tidak adanya transfer dana bagi hasil (DBH) dari pemerintah pusat kepada pemerintah Kabupaten SBB atas komoditi Minyak Kayu Putih tersebut bukan tanpa alasan.
Melainkan karena hampir seluruh hasil Minyak Kayu Putih di Kabupaten SBB selama ini di beli dengan cara monopoli oleh pengusaha yang berasal dari Kabupaten Buru atas nama Ongko Tuya secara illegal.
Tanpa memiliki izin atas pengambilan hasil Minyak Kayu Putih di kabupaten SBB dengan memanfaatkan beberapa pengusaha lokal di Kab. SBB sebagai kaki tangan dan berperan sebagai tengkulak.
Hasil minyak kayu putih di Kabupaten SBB sejak lahirnya kabupaten ini di tahun 2003 telah dikuras habis dan dibawah ke kabupaten buru setalah itu sang pengusaha (Ongko Tuya) mulai mengekspor ke pasar nasional bahkan pasar internasional dengan menggunakan label/brand Kabupaten Buru.
Kondisi ini dinilai sangat fatal dan merugikan masyarakat Kabupaten SBB karna hasil Minyak Kayu Putih yang diambil dari Kabupaten SBB tapi kemudian diekspor atas nama Kabupaten Buru sehingga transfer dana dari pusat dalam bentuk dana bagi hasil (DBH) ke daerah penghasil maka yang menikmatinya adalah Kabupaten Buru bukan Kabupaten SBB.
Yang lebih ironis lagi sang pengusaha ongko tuya tersebut membeli hasil minyak kayu putih di kabupaten SBB sejak sebelum lahirnya kabupaten ini hingga saat ini ia lakukan secara illegal karena pengusaha tersebut hanya memiliki izin produksi dan itu hanya berlaku di lokasi Kabupaten Buru.
Mestinya jika Ongko Tuya mengambil hasil Minyak Kayu Putih di Kabupaten SBB maka ia harus memiliki izin pungut untuk wilayah kabupaten SBB sehingga satiap satu kilogram Minyak Kayu Putih yang ia keluarkan dari kabupaten SBB maka dapat dihitung berapa rupiah atau persentasi yang nantinya pemerintah pusat akan transfer ke kabupaten SBB sebagai daerah penghasil dalam bentuk dana bagi hasil (DBH).
Coba kita bayangkan saja berdasarkan data saat ini terdapat jumlah ketel penyulingan Minyak Kayu Putih di kabupaten SBB adalah sebanyak 525 ketel yang tersebar pada beberapa daerah dengan rata-rata satu ketel penyulingan menguasai lahan Kayu Putih kurang lebih 5 Ha
Itu artinya jumlah lahan Kayu Putih yang dimiliki oleh kabupaten SBB saat ini adalah kurang lebih 2.625 Ha dengan asumsi 1 Hektar lahan Kayu Putih mampu menghasilkan 8 ton Daun Kayu Putih sehingga kemampuan produksi Daun Kayu Putih selama 6 bulan (satu kali panen) di kabupaten SBB adalah sebanyak 21 ton.
Semantara itu, 1 ton (1000 kg) Daun Kayu Putih rata-rata menghasilkan kurang lebih 8 Kg Minyak Kayu Putih maka jumlah luas lahan Kayu Putih saat ini sebesar 2.625 Ha dan jumlah produksi daun kayu putih per 6 bulan sebanyak 21 ton tersebut mampu menghasilkan kurang lebih 147 ton minyak kayu putih per sekali musim dalam kurun waktu 6 bulan di kabupaten SBB.
Untuk diketahui bahwa dana bagi hasil (DBH) kehutanan itu bersumber dari iuran izin usaha pemanfaatan hutan (IIUPH) dan provinsi sumberdaya hutan (PSDH), 80 persen dari total IIUPH tersebut dibagikan ke daerah dengan rincian 16 persen untuk provinsi bersangkutan dan 64 persen untuk kabupaten/kota penghasil.
Sementara dana bagi hasil (DBH) dari PSDH 80 persen dari total PSDH dibagikan ke daerah dengan rincian 16 persen untuk provinsi bersangkutan, 32 persen untuk kabupaten/kota penghasil dan 32 persen untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Bayangkan saja jika diasumsi rupiahkan satu kilogram minyak kayu putih yang keluar dari kabupaten SBB dapat dihargai dengan nilai Rp. 10.000,- dalam bentuk dana bagi hasil (DBH).
Maka per 1 tahun (dua kali panen) Kabupaten SBB mampu menghasilkan anggaran DBH dari komoditi minyak kayu putih adalah sebanyak Rp. 294.000.000,- jika dikalikan dengan usia kabupaten ini yang sudah 22 tahun karena sejak awal pengusaha Ongko Tuya merampok hasil Minyak Kayu Putih di SBB, maka terdapat kurang lebih 6,5 miliar uang daerah yang bocor selama ini entah kemana.
Angka anggaran 6,5 miliar ini kita masi menggunakan nominal terkecil untuk asumsi kontribusi DBH dari satu kilogram Minyak Kayu Putih, jika angka nominalnya dihitung berdasarkan regulasi dan terdapat angka yang melebihi Rp. 10.000,- maka tentu asumsi kebocoran anggaran daerah kabupaten SBB sebagai daerah penghasil minyak kayu putih selama ini telah mencapai puluhan miliar.
Jika anggaran ini didapatkan oleh pemerintah daerah maka berapa banyak pembangunan yang bisa dapat diselesaikan untuk kepentingan masyarakat, berapa banyak anak sekolah yang dapat difasilitasi pendidikannya dengan baik, berapa banyak orang sakit di SBB yang dapat terbantukan dengan fasilitas kesehatan yang memadai dan seterusnya.
Untuk itu kami mendesak agar bupati Seram Bagian Barat Ir. Asri Arman, MT harus bersikap tegas dan segera memproses hukum oknum pengusaha nakal atas nama Ongko Tuya yang berasal dari Kabupaten Buru tersebut.
Sehingga jika terbukti yang bersangkutan melakukan kesalahan atas bisnis illegal Minyak Kayu Putih di kabupaten SBB selama ini agar ada sanksi denda atas kebocoran puluhan miliaran rupiah yang selama ini tidak perna didapatkan oleh pemerintah dan masyarakat di kabupaten seram bagian barat.***
Oleh : Darman Wanci – Wakil Ketua Pimpnan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kabupaten SBB
Komentar