oleh

Bupati SBB vs Gubernur Soal Investasi Akbar : Sapa Peduli Nasib Ratusan Pekerja?

-Opini-47 Dilihat

MALUKU, BABETO.ID – Keputusan Bupati Seram Bagian Barat (SBB), Asri Arman, untuk menghentikan sementara aktivitas PT Spice Islands Maluku (SIM), pengelola investasi budidaya pisang Abaka di wilayah Desa Kawa, menyulut polemik tajam.

Di satu sisi, Bupati berdalih melindungi hak warga atas lahan yang masih bersengketa. Namun di sisi lain, ratusan pekerja kini dirumahkan nasib mereka menggantung tanpa kepastian.

Kebijakan tersebut tertuang dalam surat resmi tertanggal 14 Juli 2025 yang ditujukan kepada Direktur PT SIM. Dalam surat itu, Bupati memerintahkan penghentian seluruh aktivitas penggusuran di atas lahan yang masih dalam status sengketa.

Langkah ini, menurut Bupati, sebagai bentuk respons terhadap keluhan warga pemilik lahan di Dusun Pelita Jaya, Desa Eti.

Namun keputusan sepihak ini mengundang pro dan kontra. Bagi sebagian warga, kebijakan Bupati adalah bentuk keberpihakan terhadap masyarakat adat dan hak atas tanah.

Tapi bagi ratusan pekerja yang kini kehilangan pekerjaan, kebijakan tersebut dianggap mencederai prinsip keadilan sosial.

“Harusnya ada ruang dialog antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sebelum keputusan drastis diambil. Jangan hanya karena konflik segelintir orang, ribuan perut dipertaruhkan,” ujar salah satu tokoh masyarakat setempat yang enggan disebutkan namanya.

Gubernur dan Pemprov Maluku Ambil Sikap

Di tengah situasi ini, Pemerintah Provinsi Maluku menegaskan bahwa PT Spice Islands Maluku telah mengantongi seluruh dokumen legal.

Melalui surat klarifikasi resmi dari DPMPTSP Provinsi Maluku tertanggal 14 Juli 2025, ditegaskan bahwa seluruh perizinan termasuk Nomor Induk Berusaha (NIB), Izin Lingkungan, dan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dari Bupati sendiri, telah lengkap dan sah.

Bahkan, surat tersebut juga menyebutkan bahwa PT SIM telah memperoleh Pertimbangan Teknis dari Kementerian ATR/BPN SBB. Artinya, secara administratif dan legal, investasi ini tidak bermasalah.

Pemerintah provinsi bahkan menyebut bahwa proyek Abaka ini memiliki dampak ekonomi yang signifikan, khususnya dalam menyerap tenaga kerja lokal dan menggerakkan ekonomi daerah.

Namun Pemprov tetap mengingatkan agar PT SIM mematuhi batas areal izin dan terus membangun komunikasi dengan pemangku kepentingan lokal agar tidak terjadi gejolak sosial.

Bupati Lawan Gubernur?

Langkah Bupati SBB seolah bertolak belakang dengan semangat pemerintah provinsi yang mendorong investasi di daerah.

Bahkan saat kunjungan Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, beberapa waktu lalu, investasi PT SIM dinilai sebagai contoh keberhasilan membangun Maluku dari desa.

Kini muncul pertanyaan besar: apakah Bupati sedang melindungi warga atau justru menciptakan masalah baru bagi ratusan keluarga yang bergantung pada proyek ini? Apakah kebijakan ini dilandasi niat murni atau ada aroma kepentingan politik menjelang tahun-tahun panas?

Yang pasti, rakyat kembali menjadi korban. Investasi terhambat, pekerja dirumahkan, dan ketidakpastian makin meluas.

Catatan Kritis:

Pemerintah, baik kabupaten maupun provinsi, semestinya tidak saling berseberangan. Membangun komunikasi yang baik dan mencari jalan tengah adalah hal yang mutlak.

Sengketa lahan bisa diselesaikan melalui proses hukum dan mediasi, bukan dengan menghentikan investasi yang sudah berjalan dan berdampak luas terhadap ekonomi lokal.

Jika dibiarkan berlarut, konflik ini bukan hanya soal tanah, tapi soal kepercayaan publik terhadap kepemimpinan yang mampu memberi solusi, bukan menambah persoalan.

Penulis berpandangan, mendukung langkah Gubernur Maluku adalah pilihan rasional. Dorongan terhadap investasi bukan hanya untuk mengurangi ketergantungan pada APBD, tetapi juga demi menciptakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kuat bagi kabupaten di masa depan.

Opini Oleh: Mario Josian Kakisina (Jebolan pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Pattimura)

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *