oleh

Bilal Tuhulele : Ada Apa dengan Pinjaman SMI?

-Opini-123 Dilihat

AMBON, BABETO.ID – Bertahun-tahun negeri ini hanya sebagai penunggu janji, penunggu program dari pusat, menunggu perhatian, menunggu anggaran yang tak kunjung cukup.

Dan di tengah penantian panjang itu, keadaan tetap seperti dulu jalan rusak, rumah sakit kurang, kalaupun ada rumah sakit atau puskesmas tetap saja terbatas akan fasilitasnya.

Pulau-pulau terluar tertinggal terutama dari akses informasi dan transportasi,air bersih masih menjadi mimpi yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan di negeri yang kaya akan sumber daya air ini

Lalu sekarang ketika Gubernur Hendrik Lewerisa memutuskan mengambil langkah berani untuk pinjaman 1,5 triliun dari PT SMI dalam memacu pembangunan tiba-tiba muncul  narasi kontra dari kelompok lain terutama mereka yang berseberangan pada Pilgub 2024. 

Padahal selama ini merekalah yang paling pasif dalam membangun daerah. Ironis?, sebenarnya yang mereka takuti bukan soal pinjaman. tetapi kemajuan daerah ini yang akan bergerak jauh lebih cepat dari mulut mereka.

Mereka yang Protes Bukan Karena Peduli, Tapi Karrena mereka belum berdamai dengan masa lalu. Selama ini ada pola yang sangat mudah dibaca.

Jika pemimpin hanya bicara, mereka diam. Jika pemimpin hanya meresmikan papan nama, mereka tepuk tangan. Tapi ketika seorang gubernur benar-benar mulai bekerja, mulai membangun, mulai meminjam dana pembangunan yang legal, terkontrol, dan diarahkan negara, barulah mereka berteriak: “Ini bahaya, ini utang, ini akan membebani!”

Padahal yang membebani rakyat justeru mereka yang selalu menebara narasi destruktif diruang publik

Pinjaman SMI bukan utang sembarangan. Ini program resmi pemerintah pusat untuk mempercepat pembangunan daerah.

Semua provinsi besar pernah pinjam. Tapi mengapa ketika Hendrik meminjam untuk mengejar ketertinggalan tetapi kemudian ada saja  keinginan untuk memblokir dana tersebut

Mereka yang menolak SMI adalah mereka2 Yang selama ini selalu mendulang dukungan dari ketertinggalan ekstrim karena pembangunan yang cepat akan menghapus ruang untuk mereka berpolitik dengan isu kemiskinan

Maluku susah  Maju Jika Mengandalkan APBD

Siapa pun yang mengerti tata kelola keuangan daerah tahu bahwa APBD Maluku kecil. Bahkan tidak cukup untuk membiayai proyek strategis berskala besar.
Membangun jalan di wilayah kepulauan biayanya lebih mahal.

Mengangkut semen dan besi ke pulau-pulau akan membuat biaya proyek bisa berlipat. Dan selama 20–30 tahun terakhir, ada terlalu banyak proyek yang hanya berhenti di wacana.

Gubernur Hendrik Lewerisa memilih untuk tidak melanjutkan tradisi menunggu itu.
Beliau memilih jalan yang lebih terhormat:
“Kalau uang daerah tidak cukup, pinjam ke lembaga negara yang memang ditugaskan membantu pembangunan.”

Bukan ke bank swasta.Bukan ke investor asing. Bukan utang gelap. Ini SMI, sebuah lembaga resmi milik negara yang misinya mempercepat pembangunan Indonesia. 1,5 Triliun Itu Bukan untuk Gaya-Gayaan Tapi untuk Proyek Nyata untuk membangun Rumah Sakit agar tidak ada lagi yang rujuk mencari pengobatan diluar daerah.

Berapa banyak biaya harta yang ditanggung keluarga untuk berobat keluar daerah. Jadi kalau ada yang protes mungkin mereka lupa kalau kesehatan adalah hak dasar bukan arena politik busuk

Begitu juga dengan akses jalan darat seperti jalan lingkar di beberapa daerah yang masih tidak jelas pembangunannya sampai hari ini Jalan Lingkar Pulau Ambalau, Pulau Gorom, Pulau Manipa, Lingkar Batabual dll.

Masyarakat dipaksa hidup sebagai nomaden. Orang-orang yang ribut menolak pinjaman mereka lupa bahwa Maluku bukan hanya Ambon. Ada ribuan desa, pulau kecil, komunitas terluar yang selama ini menunggu akses dan perhatian.

Di pulau-pulau terjauh Gorom, Aru, MBD dll, itu proyek yang didanai SMI seperti jalan, jembatan, air bersih, dan fasilitas umum inilah yang akan mengubah hidup mereka secara langsung. Bukan janji, tapi realisasi yang sedang berjalan.

Jadi Siapa Sebenarnya yang Takut dengan pinjaman Ini, yaitu mereka yang sudah nyaman dengan narasi ketertinggalan pembangunan di negeri ini.

Mereka yang sering menggunakan bahasa kemiskinan sebagai logistik kampanye lima tahunan. Ketika pembangunan dimulai, mereka kehilangan bahan bakar politik.

Ketika rakyat mulai melihat perubahan nyata, mereka kehilangan panggung. Mereka bukan takut utang. Mereka hanya takut kehilangan pengaruh, karana Gubernur Hendrik Lewerissa akan membangun dan misi mereka untuk mencalonkan diri akan kalah bersaing.

Bertahun-tahu kita sering dengar keluhan kepala daerah kita di kabupaten soal APBD kecil, kebutuhan besar, wilayah sulit, transportasi mahal.

Jadi inilah saat yang tepat untuk menjawab keluh kesah itu. Hendrik Lewerisa, tidak mau memimpin Maluku hanya untuk menjaga kursi tetapi memilih menjadi gubernur yang meninggalkan jejak nyata.***

 

Oleh : Ahmad B. Tuhulele (Kordinator Gerakan Cinta Maluku / Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Maluku).

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *