BANTEN, BANETO.ID – Skandal penjurian Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Cimanuk. Insependensi dan profesionalisme juri dipertanyaka.
Seorang siswa pada Selasa (29/4) yang belum mau namanya disebut mengatakan bahwa kegiatan tersebut sejatinya menjadi ruang apresiasi dan ekspresi kreatif siswa di seluruh Indonesia.

Doc. Nama peserta lomba FLS3N 2025
Namun, idealisme itu tampaknya tercoreng dalam pelaksanaan FLS2N tingkat Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang.
Ia mengatakan kalau indikasi kuat terjadinya pelanggaran terhadap prinsip independensi dan profesionalisme dalam proses penjurian menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan.
“Sorotan tersebut datang dari peserta kegiatan, guru pendamping, serta pengamat pendidikan di daerah tersebut,” ujarnya.
Lanjut dia, bahwa proses penjurian yang seharusnya mengacu pada indikator resmi dan transparan justru menunjukkan gejala keberpihakan yang mencolok.
Skema penilaian tampak dipengaruhi oleh relasi personal dan subjektivitas, alih-alih berdasarkan kualitas karya dan kriteria teknis yang telah disosialisasikan sebelumnya.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar terhadap integritas panitia dan juri yang terlibat.
Beberapa catatan kritis yang muncul antara lain adalah ketidak konsistensi dalam pemberian skor terhadap peserta dengan kualitas karya serupa.
Ketidakjelasan dalam pembobotan aspek penilaian, hingga adanya peserta yang memperoleh nilai tinggi meski secara teknis tidak memenuhi syarat yang ditentukan.
Ketidakterbukaan ini memicu kekecewaan dan meruntuhkan kepercayaan terhadap sistem penilaian lomba.
Ketika proses penjurian tidak lagi berlandaskan objektivitas, maka esensi dari kompetisi itu sendiri menjadi rusak.
Praktik seperti ini bukan hanya merugikan peserta yang sebenarnya layak mendapat penghargaan, tetapi juga menumbuhkan rasa frustrasi dan apatisme dalam diri siswa.
Bagaimana mungkin kita berharap lahirnya generasi kreatif dan berdaya saing, jika ajang pembinaan mereka justru dipenuhi ketidakadilan?
Lebih dari itu, dampak sistemik dari ketidakprofesionalan ini mencoreng nama baik FLS2N sebagai agenda nasional.
Masyarakat luas bisa kehilangan kepercayaan terhadap kredibilitas ajang-ajang serupa, karena menganggap hasil akhirnya telah ditentukan bukan oleh kualitas, melainkan oleh kedekatan dan kepentingan.
Sudah saatnya pihak penyelenggara—baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten—melakukan evaluasi menyeluruh.
Penunjukan juri harus melewati seleksi yang ketat dan berbasis kompetensi. Indikator penilaian wajib dipublikasikan secara terbuka dan dijelaskan secara rinci sebelum lomba dimulai.
Bahkan, pelibatan pihak eksternal yang independen sangat mungkin dijadikan solusi untuk menjaga netralitas dan transparansi.
Pendidikan seni bukan hanya soal menang dan kalah. Ia adalah proses pembentukan karakter, pengasahan kepekaan, dan penanaman nilai-nilai kejujuran serta keadilan.
Maka ketika kompetisi seni ternoda oleh praktik curang, kita tengah merusak akar dari pendidikan itu sendiri.
FLS2N bukan hanya tentang panggung pentas, tetapi tentang bagaimana kita memuliakan proses, menjunjung tinggi sportivitas, dan mengembalikan kepercayaan siswa bahwa karya yang baik akan selalu mendapat tempat yang layak.***