oleh

Bikin Gaduh Tanpa Data : Kedekatan Politik Gubernur Hendrik Salah Dipahami Para Oplosan

-Opini, Politik-548 Dilihat

AMBON, BABETO.ID – Akahir- akhir ini, publik dibuat gaduh dengan munculnya para pemikir oplosan di ruang publik, tampil dan klaim diri dengan narasi yang sentimentalis untuk memperkeruh kohesi sosil kita.

Alih-alih pengakuan mereka sebagai pengamat kebijakan publik di maluku dengan narasi yang cukup populer dan cukup satir bahwa klaim kedekatan gubernur maluku, Hendrik Lewerissa dengan Presiden Prabowo hanyalah “cerita kewel kosong”.

Sebuah istilah yang sedap di telinga, tetapi sayangnya minim nutrisi intelektualitas.

Sebagai pemerhati media sosial dan kebijakan publik di Maluku izinkan saya menjelaskan bahwa politik nasional tidak bergerak seperti drama telenovela, dimana kedekatan personal otomatis melahirkan hujan proyek strategis dalam semalam.

Pemerintahan Presiden Prabowo adalah pemerintahan teknokratis, bukan pasar ikan tempat orang tinggal teriak untuk dapat posisi yang prioritas. Justru di sinilah masalah kritik itu muncul, ia dibangun dari ekspektasi yang tidak memahami cara kerja negara.

Tidak ada bukti kedekatan? Ini kritik berdasarkan rumor Oplosan, bukan pake metodologi.

Kritik yang mengatakan bahwa kedekatan gubernur Hendrik Lewerissa “tidak terbukti” adalah kesimpulan yang lahir bukan dari data, melainkan dari sentimen hasil produksi kumpul di tongkrongan yang menurut penulis, pemikir oplosan ini yang berharap dari hasil sajian yang  instan tanpa melihat proses yang sedang di perjuangkan.

Namun, dalam logika kebijakan nasional,
relasi politik bukan kantong ajaib Doraemon yang otomatis membawa proyek strategis, melainkan modal akses, dan akses itu butuh policy design, advocacy, dan dokumen teknis yang kuat untuk dikonversi menjadi pembangunan.

Jika maluku belum mendapat lonjakan proyek strategis, itu bukan bukti bahwa kedekatan tidak ada.

Justru itu bukti bahwa butuh kerja teknokratis, bukan hanya asumsi publik yang hiperaktif seperti dinarasikan oleh para oplosan yang belum bisa move on terima kekalahan di pertarungan kemarin.

Kritik Maluku tidak dilirik pusat adalah cerminan  minimnya literasi kebijakan.
Opini publik yang di gemborkan para pemikir oplosan, seringkali  menyebut maluku tidak diperhitungkan karena kedekatan politik tidak membawa apa-apa.

Pernyataan ini terlihat meyakinkan, bila kita mengabaikan fakta bahwa : Tahun pertama pemerintahan nasional selalu di isi konsolidasi, bukan pembagian proyek. Prioritas pusat tahun pertama bukan maluku saja, tetapi seluruh Indonesia.

Proyek strategis tidak bisa dikirim via ekspedisi dan tiba dalam 3–6 bulan lalu di paksakan untuk jadi dan sempurna, ini tentu sesuatu yang mustahil dan mengada-ngada.

Jika ada yang mengira bahwa satu tahun pertama sudah cukup untuk mengubah struktur fiskal maluku, maka saya sarankan untuk membaca minimal satu buku tentang policy cycle.

Menyerang gaya komunikasi Lewerissa sebagai “kewel” adalah kritik emosional para Oplosan, bukan pemikir  Akademis.
Dalam pemikiran para oplosan bahwa gubernur maluku Hendrik Lewerissa digambarkan reaktif, emosional, dan kewel.

Ini bukan kritik kebijakan, ini kritik untuk pembunuhan karakter, sengaja dibungkus dengan kebencian tanpa melihat pak HL sebagai sosok rendah hati dan punya cinta yang luas untuk masyarkat maluku.

Padahal, kebijakan publik tidak pernah dianalisis dari preferensi emosional melainkan dari desain regulasi, kapasitas fiskal, skema program dan dampak jangka panjang.

Mengganti analisis kebijakan dengan psikologi murah bukanlah kritik, itu sekedar hiburan yang dibungkus di pertunjukan sesat untuk bikin gaduh ruang publik.

Soal utang: Kritik yang bersandar pada opini, bukan aturan fiskal.
Pemikir oplosan menuding utang sebagai bukti pemerintah daerah kehabisan ide.

Mari kita luruskan dan kasi pencerahan bahwa : Utang itu adalah instrumen fiskal legal dan lazim digunakan di beberapa daerah di Indonesia dengan  pinjaman yang sama dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) hal ini karena tidak diberikan, tanpa kajian ekonomi dan risiko yang ketat.

Jika ada yang mengatakan utang berarti kehabisan ide, maka cara berpikir semacam itu sama absurdnya dengan mengatakan orang mengambil KPR karena sudah kehabisan kreativitas untuk membangun rumah sendiri.

Justru tidak mengambil pinjaman di tengah kebutuhan infrastruktur yang mendesak adalah bukti kegagalan kebijakan, bukan kehebatan efisiensi.

Menuduh kurangnya nilai jual Maluku adalah kritik yang menampar balik para oplosan. Kritik bahwa pejabat pusat bertanya apa nilai jual maluku? seolah-olah menyalahkan gubernur HL semata.

Padahal, potensi maluku besar, investasi butuh waktu, dan diplomasi anggaran adalah proses bertahap yang akan di lakoni dan jadi prioritas sapta cipta di kepemimpinan saat ini.

Sangat satir jika masyarakat maluku ikut menikmati narasi yang merendahkan daerahnya sendiri.

Menyerang gubernur Hendrik Lewerissa dengan mengatakan maluku tidak punya nilai jual, justru memperlihatkan minimnya empati dan tidak memiliki sikap patriotisme dari mereka yang memilih jadi pemikir oplosan hari ini.

Kedekatan relasi politik yang erat dan tidak hilang hanya karena hasilnya belum terlihat. Relasi politik itu seperti memperbaiki perahu : Hasilnya tidak langsung tampak, tetapi fondasinya harus dibangun dulu.

Justru di tahun-tahun awal, yang dilakukan gubernur Hendrik Lewerissa adalah: membangun akses, membuka jaringan baru, memperkuat posisi tawar, dan menyiapkan desain program.

Itulah pra-syarat agar maluku tidak terus berada di pinggir meja kekuasaan.
Kalau ada yang mengharapkan perubahan instan hanya karena gubernurnya dekat dengan presiden, itu bukan analisis tapi fantasi politik yang keliru.

Kritik yang membingungkan utang, kedekatan, dan gaya bicara dengan kegagalan logika.

Tiga point utama framing dari agenda seting si oplosan di ruang publik saat ini adalah : Klaim kedekatan dianggap bohong, proyek belum muncul dan utang dianggap panik.

Ini seperti menggabungkan buah pala, ikan cakalang, dan batu karang ke dalam satu wadah panci, lalu berharap menjadi papeda. Tentunya ini tidak sinkron dan jauh dari logika, fakta, dan data yang sesungguhnya.

Karena analisis kebijakan menuntut kerja struktur, bukan sekedar deretan keluhan yang disatukan oleh kreativitas kata-kata seperti yang di pertontonkan di ruang publik saat ini oleh mereka yang berpikir amatiran.

Membutuhkan publik yang cerdas, bukan publik yang mudah terpancing humor politik oplosan.

Masyarakat maluku membutuhkan kritik yang berbasis riset, mengerti mekanisme fiskal pusat, mengerti tahapan pembangunan nasional, dan tidak terjebak pada dramatisasi politik.

Kedekatan politik gubernur Lewerissa dengan Presiden bukan “cerita kewel”.
Yang kewel justru adalah kritik yang tidak didukung data, tetapi dipaksa tampil berisik, buat gaduh dan menciptakan pembelahan persepsi publik.

kritik pemerintah itu penting, tapi jangan lupa  kritik dengan akal sehat yang konstruktif  bukan dengan amarah dan syahwat yang dibungkus dengan framing kata-kata buruk.

Untuk kita ketahui bersama bahwa mencapai tujuan utama “Par maluku pung bae”  hanya bisa diwujudkan jika publiknya tidak disesatkan dengan kebencian dan sesansi yang berlebihan di ruang publik.***

Oleh : Imbing Tuhuteru
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Maluku

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *